Jumat, 07 November 2008

Orang Tua Siswa. Lawan? atau Teman?

Suatu hari saya menyaksikan seorang orang guru yang bersungut-sungut setelah bertemu dengan salah satu orang tua muridnya. Sambil menggerutu guru tersebut tanpa ba bi bu melintas di hadapan saya dengan wajah kesalnya.

Beberapa hari kemudian saya menyaksikan lagi pemandangan yang sama. Namun kali ini terjadi pada guru yang berbeda. Demikian seterusnya dari hari ke hari. Hingga akhirnya saya tertarik untuk mencari cari tahu apa sebenarnya yang terjadi (sumber masalahnya).

Dan akhirnya, setelah beberapa hari saya mengamati, menganalisa, dan mendata fenomena-fenomena yang temukan di lapangan. Saya berhasil mengumpulkan banyak sekali informasi mengenai "si orang tua murid" tersebut.

Berikut beberapa fenomena yang berhasil saya kumpulkan, diantaranya:
* Orang tua murid tersebut kerapkali menulis "surat cinta" (demikian istilah para guru bila
mendapat surat dari orang tua murid melalui buku penghubung) yang menanyakan perihal
perkembangan anaknya maupun program-program kelas. Surat cinta tersebut ternyata
cukup membuat si guru yang mungkin memang cukup banyak pekerjaannya merasa cukup
terganggu (bertambah pekerjannya hanya untuk menjawab surat cinta yang tidak hanya
sekali dua kali)
* Dan ternyata sebelum sang guru menangani siswa tersebut, ia sudah lebih dulu
mendapat informasi dari guru-guru yang sebelumnya mengajar si siswa mengenai berbagai
hal yang berhubungan dengan orang tua siswa tersebut. Hingga akhirnya tertanamlah dalam
pikiran sang guru bahwa si orang tua siswa tersebut "begini" dan "begitu" (adanya
pelabelan).
* Dikarenakan si orang tua siswa menyekolahkan dua orang anaknya di sekolah tersebut, maka
baik guru si adik maupun si kakak mempunyai "frame" yang sama terhadap orang tua
tersebut. Ditambah lagi saat para guru berkumpul di kantor, maka makin bertambahlah rasa
ketidaksukaan sang guru terhadap orang tua siswa tersebut akibat informasi-informasi yang
didengar. Hingga pada puncaknya hubungan antara guru dan orang tua siswa tersebut
seperti "kucing dan tikus". Betapa tidak, sang guru yang tahu jam-jam kedatangan si siswa
di sekolah akan langsung "sok sibuk" demi menghindar untuk tidak bertemu dengan si orang
tua bahkan sampai sembunyi di kantor guru. Dan lebih ekstrim lagi, jika dari jauh terlihat si
orang tua murid akan melewati jalan yang sama dengan jalan sang guru. Maka sang guru
lebih memilih jalan lain demi tidak berpapasan dengan si orang tua. Masya Allah ...

Berdasarkan fenomena-fenomena di atas saya coba melakukan "PDKT" dengan orang tua yang nota bene bukan siswa kelas saya untuk membina hubungan baik dan mencoba menyelami apa yang sebenarnya diharapkan dari orang tua tersebut. Dan alhamdulillah dalam waktu yang tidak terlalu lama saya berhasil mengurai benang merahnya. Namun setelah itu teman-teman menjuluki orang tua murid tersebut sebagai sahabat saya. Baik di saat rapat guru maupun saat ngobrol santai seringkali teman-teman mengunakan kode "itu tuh temannya Bu Nung", jika sedang membahas hal-hal yang berhubungan dengan orang tua siswa. Tapi tak apalah, jika saya dapat menjadi mediator yang dapat memberi manfaat bagi orang banyak mengapa tidak?

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa ternyata orang tua tersebut hanya butuh teman/tempat untuk mau "berbagi" ide-ide, usul, dan saran mengenai kegiatan pembelajaran yang diharapkan akan memberi dampak positif bagi siswa/i (kedua anaknya, pada khususnya). Dan terlihat cukup "loyal" dalam hal dukungan kegiatan pembelajaran. Jadi, jangan hanya karena kita tidak mau mendapat kerjaan "extra" maka kita lebih memilih untuk menghindar.

Jika boleh jujur, kita sama-sama mengakui kalau selama ini kita memang belum cukup pandai untuk bisa "mendengar". Padahal sesungguhnya jika kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mau "mendengar", insya Allah apa yang kita anggap sebagai lawan akan berubah teman bahkan sahabat sekalipun. Sahabat yang senantiasa mensupport apa yang kita programkan tanpa harus kita minta. Karena keberhasilan seorang siswa sangat ditentukan dengan adanya kerjasama yang harmonis antara guru dan orang tua murid. Bukankah kita akan sangat terbantu jika ada orang tua yang sangat mendukung program-program sekolah secara "loyal". Karena sesungguhnya bersama-sama jauh lebih baik daripada sendiri. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Janganlah kita berlaku/bertindak atas dasar prasangka-prasangka. Karena sesungguhnya takdir Allah itu sesuai prasangka mu. Wallahu 'alam.

Untuk teman-teman seperjuangan.

Love,

Siti Nurhawati

1 komentar:

Bundanya ZnZ mengatakan...

jadi pengen curhat juga nih...ini pengalaman nyata loh dan mudah-mudahan ini tacit knowledge yang berguna. ceritanya terjadi dibulan pertama menjadi kepsek.Saat itu beberapa ortu datang minta bertemu.serem ? jujur ya karena sebagai orang baru di darbi sering mendengar yang seram-seram tentang ortu.saya dengan pasrah dan mereka dengan membawa kalkulator bertanya tentang keuangan sekolah. saya mencoba melayaninya..eh baru dibuka ada pertanyaan ini teh apa bu ? teh buat guru? oh jadi teh buat guru dari SPP toh? aduh sepertinya bintang 16 langsung di atas kepala saya. pokoknya hari itu gagal total.hari-hari, bulan-bulan selanjutnya coba kembali bangun komunikasi dan Alhamdulillah sejak itu semuanya menjadi lebih indah. Bahkan kalau boleh narcis sedikit mewakili teman-teman boleh lah kita berbangga bahwa 2 tahun ini kita cukup sukses menjalin komunikasi dengan ortu .kalau ada keluhan, itu wajar agar kita terus memperbaiki diri. sukses teman !!